Kamis, 19 Juli 2012

Membayar Zakat dengan Uang


Membayar zakat dengan harganya atau uang merupakan persoalan hukum Islam yang diperselisihkan di antara beberapa mazhab. 

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat sebagai berikut: 

1. Boleh memberikan zakat dalam bentuk uang untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H.) serta mazhabnya, dan Al-Imam Auza'i. Demikian pula, menurut para Imam yang biasa disebut sebagai ashhabur ra’yi (para Imam yang bersandar pada dalil rasio). Penjelasan mengenai hal ini dijabarkan oleh para Imam mazhab Hanafi seperti As-Sarkhasi (W.490 H.) di dalam Al-Mabsuth, Juz II, h.156-157 dan Juz III, h.107-108, Al-Kasaniy (W. 587 H.) di dalam Badai’sh-Shanai’, Juz II, h.73.
2.&;nbsp;Tidak boleh (atau makruh saja menurut pendapat yang masyhur) memberikan zakat berupa uang, tetapi boleh menggantikannya dengan benda lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti memberikan zakat perak dengan emas yang seharga dengan jumlah berat yang tidak sama atau sebaliknya, memberikan zakat sapi dengan kerbau atau sebaliknya, menurut Al-Imam Malik (93-179 H.) serta mazhabnya. Penjelasan masalah ini dinyatakan oleh Imam Malik di dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra, Juz II, h.243, dan para Imam di dalam mazhabnya, seperti Ad-Dasuqi di dalam Hasyiyah Ad-Dasuqi, Juz I. h.502, dan Al-‘Abdariy (W.897 H.) di dalam At-Taj wal-Iklil, Juz II, h.255-258.
3. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H.) serta sebagian besar mazhabnya. Hal ini dijelaskan oleh beberapa Imam di dalam mazhabnya, seperti Asy-Syairazi (393-476 H.) di dalam Al-Muhazh-zhab, Juz I, h.159, Ibn Syaraf An-Nawawi (631-676 H.) di dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaz-zhab, Juz V, h.384-385.
4. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang kecuali beberapa hal, menurut sebagian mazhab Syafi’i sebagaimana ditegaskan oleh As-Suyuthiy (849-911 H.) di dalam Al-Asybah wan-Nadzair, h.251. Beberapa hal tersebut antara lain; a. zakat perdagangan, b. ketika tidak ditemukan benda yang wajib dizakatkan seperti seekor kambing sebagai zakat atas 5-9 ekor sapi, c. untuk menambal terpenuhinya benda yang diberikan sebagai zakat seperti ketika ada pilihan antara zakat berupa 5 ekor unta bintu labun (umur 2 th.) atau 4 ekor unta hiqqah (umur 3 th.) dan ketika memilih yang dipandang lebih tinggi harganya ternyata tidak ada dan justeru harus memilih yang lebih rendah harganya dengan tambahan uang yang seimbang, d. atas dasar keputusan imam yang didasarkan pada kemaslahatan penerimanya.
5. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang kecuali zakat perdagangan, menurut Al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan mazhabnya sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisiy (541-620 H.) di dalam Al-Mughniy, Juz I, h.318.
Metodologi Ijtihad
1. Membolehkan memberi zakat dalam bentuk uang merupakan penerapan teori ta’wil (pengalihan makna) dengan metoda pengalihan makna haqiqi (sebenarnya) kepada makna majazi (kiasan). Dalam hal ini, perintah nash (teks) hadits untuk memberikan benda berupa kambing, kurma dan sebagainya sebagai zakat dipahami sebagai perintah untuk memberikan nilai harga benda-benda itu dan tidak harus dalam bentuk bendanya. Adapun dalil yang mendasari teori ta’wil macam ini adalah maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam). Dalam arti lain, tujuan zakat adalah untuk menolong kebutuhan para fakir dan miskin khususnya, sedangkan uang juga dapat bermanfaat dalam membantu kebutuhan dan kesulitan mereka. Teori ini biasa disebut sebagai ma’na an-nash (pemahaman pada esensi nash atau pemahaman esensial).
2. Membolehkan memberi zakat berupa uang menurutnya dikuatkan dengan adanya isyarat beberapa hadits, seperti mengenai penarikan zakat berupa seekor unta sebagai ganti dua ekor unta yang dinilai didasarkan pada perhitungan harga atau uang, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, kewajiban memberikan zakat berupa seekor kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan sebagainya. Beberapa hadits tersebut, antara lain sebagai berikut :
عَنِ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً مُسِنَّةً فَغَضِبَ وَقَالَ مَا هَذِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِبَعِيرَيْنِ مِنْ حَاشِيَةِ الصَّدَقَةِ فَسَكَتَ
Artinya: Dari Shunabihiy berkata, Rasulullah SAW menyaksikan unta zakat musinnah (umur 2 th.), lalu beliau marah dan bertanya : “Apa ini ?” Kemudian penarik zakat itu berkata : “Wahai Rasulullah, saya ambil unta ini sebagai ganti dua unta zakat”, lalu beliau diam. (HR. Ahmad, No.18286, Juz IV, h.349)
عَنْ ثُمَامَة أَنَّهُ قَالَ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا  الخ
Artinya: Dari Tsumamah, bahwasanya dia berkata, sesungguhnya Anas ra. merbicara dengannya, bahwasanya Abu Bakr ra. berkirim surat kepada Anas ra. mengenai kewajiban zakat yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya; siapa pun berkewajiban untuk zakat unta jatza’ah (umur 4 th.), tetapi ia tidak memilikinya dan hanya memiliki unta hiqqah (umur 3 th.), maka unta hiqqah itu boleh diterima dengan menambah dua kambing atau 20 dirham. Dst. (HR.Bukhari, No.1385, Juz II, h.527)
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَلَمَّا قُبِضَ عَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ وَعُمَرُ حَتَّى قُبِضَ وَكَانَ فِيهِ فِي خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ شَاةٌ وَفِي عَشْرٍ شَاتَانِ وَفِي خَمْسَ عَشَرَةَ ثَلَاثُ شِيَاهٍ وَفِي عِشْرِينَ أَرْبَعُ شِيَاهٍ، الخ
Artinya: Dari Salim dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah SAW membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan), bahwa setiap lima ekor unta wajib zakat seekor kambing, setiap sepuluh ekor unta wajib dua ekor kambing, setiap lima belas unta wajib tiga ekor kambing, dan setiap dua puluh unta wajib empat kambing. Dst. (HR. Tirmitzi, No.621, Juz 3, h.17)
3. Membolehkan memberi zakat dengan benda lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti memberikan zakat perak berupa emas yang seharga atau sebaliknya, memberikan zakat kambing berupa sapi yang seharga atau sebaliknya. Adapun dalil yang melandasinya adalah hadits mengenai kewajiban memberikan zakat berupa seekor kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan sebagainya sebagaimana dalam hadits di atas.
4. Tidak membolehkan memberi zakat berupa uang merupakan teori kebalikan dari teori ma’na an-nash sebagaimana di atas, yakni teori makna adz-dzahir (tampak pada lafadz). Teori ini biasa disebut sebagai teori ‘ain an-nash (pemahaman pada lahir nash atau pemahaman tekstual). Dalam hal ini, tidak dibolehkan memberikan zakat dalam bentuk uang karena nash atau teks Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk memberikan bendanya dan bukan nilainya, seperti perintah menarik zakat, memberikan satu sha’ (lk 2,4 kg) kurma untuk zakat fithrah, memberikan seekor kambing sebagai zakat atas empat puluh kambing, dan sebagainya. Beberapa nash tersebut, antara lain sebagai berikut :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (membawa) ketenteraman bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah : 103)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah berupa satu sha’ (lk 2,4 kg.) gandum atau kurma atas anak kecil dan orang dewasa, serta merdeka dan budak. (HR. Bukhari, No.1441, Juz II, h.   549)
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَلَمَّا قُبِضَ عَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ وَعُمَرُ حَتَّى قُبِضَ وَكَانَ فِيهِ ...... وَفِي الشَّاءِ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِذَا زَادَتْ فَشَاتَانِ إِلَى مِائَتَيْنِ فَإِذَا زَادَتْ فَثَلَاثُ شِيَاهٍ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةِ شَاةٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِ مِائَةِ شَاةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةِ شَاةٍ شَاةٌ ثُمَّ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعَ مِائَةِ
Artinya : Dari Salim dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah SAW. membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan), ……… dan setiap 40-120 kambing wajib zakat seekor kambing, jika bertambah sampai 200 ekor maka wajib dua kambing, jika bertambah sampai 300 ekor maka wajib tiga ekor kambing, dan jika bertambah sampai melebihi 300 ekor maka setiap seratus ekor adalah seekor kambing, dan tidak wajib memberi tambah sampai 400 ekor kambing. (HR. Tirmitzi, No. 621, Juz 3, h.17)
5. Membolehkan memberi zakat berupa uang khusus pada harta perdagangan karena penghitungan nishab (jumlah minimal) wajib zakat perdagangan adalah berdasarkan pada standar emas yang tentunya dengan perhitungan harga atau uang.
Kesimpulan
1. Dua teori ijtihad, ma’na an-nash dan ‘ain an-nash sebagaimana dipaparkan di atas merupakan dua hal yang bertolak belakang dengan sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya tetap mengacu pada prinsip-prinsip pemahaman yang sah terhadap nash atau teks. Teori ma’na an-nash (pemahaman esensial) adalah lebih sesuai dengan esensi perintah atau maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam), yakni membantu kebutuhan para penerima zakat, meskipun tidak sesuai dengan teks perintah zakat. Sedangkan teori ‘ain an-nash (pemahaman tekstual) adalah sesuai dengan teks perintah zakat, yakni memberikan zakat berupa bendanya, meskipun kurang sesuai dengan esensi atau tujuan perintah zakat.
2. Khususnnya di Indonesia dan pada zaman sekarang terdapat pertimbangan kuat untuk membolehkan memberikan zakat berupa uang. Pertimbangan tersebut secara jelas dapat dinilai tidak bertentangan dengan nash dan bahkan lebih mengarah pada tercapainya maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam).
Pertama, memberikan zakat dengan uang akan lebih bermanfaat karena penggunaannya lebih leluasa sesuai dengan kebutuhan para penerima zakat yang dalam memenuhi berbagai kemaslahatan hidupnya serba membutuhkan uang.
Kedua, memberikan zakat berupa benda sesuai dengan benda yang harus diambil zakatnya, akan dapat berakibat pada berkurangnya manfaat bagi para penerima zakat yang berarti pula kurang sesuai dengan tujuan syariat. Misalnya, pedagang material bangunan bila ia harus memberikan zakat berupa barang dagangannya; seperti pasir, semen, besi, cat dan sebagainya yang semua itu belum tentu dibutuhkan oleh mereka.
Misalnya pula bila seekor kambing harus diambil untuk zakat yang harus dibagikan kepada sejumlah penerima zakat yang cukup banyak, tentu akan sulit pembagiannya serta terpenuhinya unsur pemerataan. Cukup sulit pula bagi ibnus sabil (orang dalam perjalanan jauh untuk tujuan kebaikan) sebagai penerima zakat, bila ia harus menerima beras zakat untuk kebutuhan dalam perjalanannya karena beras bukanlah makanan pokok yang siap saji, dan seandainya diberikan dalam bentuk nasi, akan berisiko karena cepat basi. Dalam hal ini khususnya, persoalannnya akan berbeda bila bahan makanan pokok itu berupa kurma yang siap saji dan tahan lama, tentu tidak ada kesulitan baginya.
KH Arwani Faisal
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU

Zakat Fitrah



Zakat Fitrah Adalah Zakat yang diwajibkan kepada setiap muslim sebagai santunan kepada orang-orang miskin, tanda berakhirnya bulan Ramadlan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori puasa.
Kewajiban membayar zakat fitrah bersamaan dengan disyariatkan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriyah. Kewajiban membayar zakat fitrah dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa dia masih hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya untuk sehari. Zakat fitrah ini dibayarkan maksimal sebelum shalat idul fitri.
Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas orang muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, Beliau memerintahkan membayar zakat fitrah sebelum berangkat  (ke masjid) untuk shalat idul fitri. (HR Bukhari dan Muslim )
Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat fitrah dan zakat harta, yaitu sesui dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.At-taubah 9: 60)
Delapan  golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat diatas  adalah:
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan .
3. Pengurus  zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu’allaf: orang kafir yang ada harapan masuk islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan  Muslim yang ditawan  oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang : orang yang berhutabg karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu memebayarnya.
7. Berjuang dijalan Allah  (sabilillah) : yaitu untuk keperluan pertahanan islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingn umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan  yang bukan maksiat mengalami  kesengsaraan  dalam perjalanannya.
Besarnya zakat fitrah adalah 1 sha’ yaitu 2176 gram atau 2,2 kg beras atau makanan pokok. Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan  menjadi 2,5 kg, karena untuk kehati-hatian . Hal ini di anggap baik oleh para ulama.
1. Menurut madzhab Hanafi, diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, jika dianggap lebih bermanfaat bagi mustahik.
Waktu mengeluarkan zakat fitrah adalah sejak awal bulan Ramadlan hingga sebelum shalat ‘idul fitri. Jika mengeluarkan zakat fitrah setelah shalat ‘idul fitri maka dianggap sedekah  sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mengeluarkan  (zakat fitrah ) sebelum shalat (‘idul fitri) maka zakatnya sah. Baransiapa mengeluarkan  setelah shalat maka dianggap sedekah sunah.” (HR. ibnu Majah)
2. Zakat fitrah boleh dikeluarkan langsung  kepada mustahik atau dibayarkan melalui amil zakat.
3. Amil atau panitia zakat fitrah nboleh membagikan zakat kepada mustahik setelah shalat ‘idul fitri.
4. Jika terjadi perbedaan Hari Raya, maka panitia zakat fitrah yang berhari raya  terlebih dahulu  tidak boleh menerima zakat fitrah setelah mereka mengerjakan shalat ‘idul fitri.
5. Panitia zakat fitrah hendaknya mendoakan kepada orang yang membayar zakat,agar ibadahnya selama ramadlan diterima dan mendapat pahala. Do’a yang sering dibaca oleh yang menerima zakat, diantaranya:
آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَ بَارَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُِوْرًا
Semoga Alla SWT memberi pahala kepadamu atas apa saja yang telah kamu berikan, mudah-mudahan Allah memberi berkah kepadamu atas semua yang masih ada padamu dan mudah-mudahan  Allah menjadikan kesucian bagimu.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Tuntunan Praktis Zakat Fitrah



Zakat Fitrah
1.    Pengertian Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap orang Islam pada saat menjelang hari raya Iedul Fitri.

2.    Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah hukumnya wajib. Berdasarkan Sabda Rasulullah s.a.w. sebagai berikut :

فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ -مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ
Artinya : Rasulullah telah mewajibkan mengeluarkan Zakat Fitrah (pada bulan Ramadhan kepda setiap manusia) (HR. Bukhari – Muslim).



3.    Orang-orang Yang Wajib Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah wajib bagi  setiap orang Islam, untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang berada dalam tanggungannya, yaitu dari :
1)    Laki-laki
2)    Perempuan
3)    Anak-anak
4)    Janin
5)    Orang dewasa
6)    Budak
7)    Orang tua
8)    Dan setiap orang yang merdeka (bukan budak).

4.    Macam-macam Zakat Fitrah
Zakat Fitrah pada intinya adalah menggunakan makanan atau kebutuhan pokok dari suatu wilayah terkait. Berikut ini adalah hal-hal yang diperbolehkan digunakan untuk Zakat Fitrah :
1)    Gandum
2)    Kurma
3)    Susu
4)    Anggur kering
5)    Beras
6)    Dll.

5.    Ukuran Zakat Fitrah
Menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa Zakat Fitrah di keluarkan dengan kadar ukuran 1 sha’. Yaitu sekitar 2,5 sampai 3,0 kilogram.

6.    Membagikan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah itu harus dibagikan kepada kelompok berikut ini :
1)    Fakir
2)    Miskin
3)    Petugas zakat
4)    Muallaf
5)    Budak
6)    Orang yang terlilit hutang
7)    Orang yang sedang dalam jalan Allah
8)    Dan orang yang sedang dalam perjalanan jauh yang bukan maksiat.

7.    Waktu menunaikan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah ditunaikan pada :
1)    Sebelun ditunaikannya shalat Ied
2)    Dan boleh dikeluarkan pada awal bulan Ramadhan
Maka jika Zakat Fitrah dikeluarkan setelah shalat Ied, maka dihitung sebagai shadaqah biasa, dan belum menggugurkan kewajiban zakat fitrah.

8.    Lafadz Niat Zakat Fitrah
Lafadz niat zakat fitrah yang dikeluarkan untuk diri sendiri.

نَوَيْتُ عَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِيْ فَرْضَ للهِ تَعَالَى
Artinya : Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku fardhu karena Allah.

Lafadz niat zakat fitrah yang dikeluarkan untuk orang lain.

نَوَيْتُ عَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ …… فَرْضَ للهِ تَعَالَى
Artinya : Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk ……. fardhu karena Allah.
9.    Doa mengeluarkan dan menerima zakat fitrah
Doa bagi orang yang mengeluarkan zakar fitrah

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا

Artinya : Ya Allah jadikan ia sebagai simpanan yang menguntungkan dan jangan jadikan ia pemberian yang merugikan.

Doa bagi orang yang menerima zakat fitrah

اَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا

Artinya : semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan barakah atas harta simpananmu dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu.


Sumber: Amaliah Bulan Ramadhan, LTM-PBNU, 2011
 

Bicara Ketika Berwudhu


Memang dalam kenyataan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang berwudhu sambil berbincang. Bahkan anak kecil sering berwudhu sembari bermain air. Mengingat wudhu merupakan kunci memasuki berbagai macam ibadah (sholat, thowaf, baca al-qur’an dll), hendaklah wudhu diperhatikan dengan seksama. Karena keabsahan beberapa ibadah tersebut tergantung pada keabsahan wudhu itu sendiri. Ketika wudhu seseorang tidak sempurna dan dianggap tidak sah menurut pandangan syariat, maka berbagai ibadah setelahnyapun menjadi tidak sah. Karena wudhu merupakan wahana menuju kesucian yang disyaratkan dalam berbagai macam ibadah.Dalam berbagai litertur fiqih, khususnya kitab I’anatuth Thalibin dijumpai keterangan bahwa di tengah mengerjakan wudhu di-sunnahkan untuk tidak berbicara tanpa ada keperluan. Jika terdapat keperluan mendesak maka berbicara malah bisa berubah menjadi wajib. Misalnya, ketika kita sedang berwudhu lalu melihat orang buta berjalan sendirian, sedangkan ia berjalan menuju sebuah lubang yang membahayakan, maka berbicara dan memberikan peringatan terhdapanya hukumnya menjadi wajib. Meskipun kita dalam keadaan berwudhu. Menyelamatkan orang buta jelas lebih diutamakan dari pada memenuhi anjuran untuk diam di saat mengerjakan wudhu.

Anjuran (sunnah) diam dalam berwudhu sangatlah beralasan. Bagaimanapun juga wudhu merupakan ibadah yang harus dilaksanakan dengan penuh kekhusu’an dan konsentrasi agar terlaksana sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan syariat sebagaimana telah terumuskan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana dimaklumi, membasuh kedua kaki, tangan dan muka harus benar-benar merata. Jangan sampai ada bagian yang tertinggal yang tidak tersentuh air karena itu mengurangi kesempurnaan wudhu dan berakibat pada tidak syahnya sebuah wudhu. Jika sebuah wudhu dianggap tidak sah, maka sholat dan segala ibadah yang menggunakan wudhu tersebut juga tidak sah. Oleh karena itulah dibutuhkan kehati-hatian dan konsentrasi dalam berwudhu.

Dari keterangan di atas, maka dapat diimpulkan bahwa diam dalam berwudhu hukumnya sunnah. Meskipun berbicara tidak membatalkan wudhu tetapi bisa mengurangi konsentrasi dan kehati-hatian. Wallahu a’lam.
Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU