Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ شَدَّادِ بْنِ
أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ
رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا
عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا
صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ
لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ
النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا
فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ .
Dari Syaddad bin Aus
Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya
Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan :
ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ
ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA
MASTATHA’TU A’ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA’TU ABÛ`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA
WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA
(Ya Allâh, Engkau adalah
Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau
yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan
janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan
perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu,
maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).
(Beliau bersabda)
“Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu
meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga.
Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal
sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no.
617, 620)
2. Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3. Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath
(no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)
5. al-Hâkim (II/458)
6. Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat
Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu
Diriwayatkan juga oleh
Imam at-Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dengan
lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى
سَيِّدِ الْإِسْتِغْفَار …
Maukah aku tunjukkan
kepadamu sayyidul Istighfâr ? …
at-Tirmidzi berkata,
‘Hadits Hasan Gharib.’ Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa jalan
dan syawâhid (penguat)nya dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1747).
Imam Bukhâri
rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfâr yang paling utama”. Ini
menunjukkan bahwa Imam Bukhâri t menganggap ini adah lafazh Istighfâr terbaik.
Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa ini layak disebut
dengan Sayyidul Istighfâr (penghulu Istighfâr) sebagaimana yang disifati oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
PENJELASAN TENTANG
ANJURAN ISTIGHFAR
Setiap bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari oang
yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan
bertaubat. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk selalu memohon
ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh pun berjanji akan mengampuni orang-orang
yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ
لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan sungguh, Aku Maha
Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap
dalam petunjuk.” [Thâha/20:82]
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, “Wahai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
[az-Zumar/39:53]
Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfâr/meminta ampun kepada-Nya.
Begitu pula Allâh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
beristighfâr. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“…Dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan…” [Muhammad/47:19]
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا
رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
“Maka aku berkata
(kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha
Pengampun.’” [Nûh/71:10]
وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ۖ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan mohon ampunlah
kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[an-Nisâ’/4:106]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ
رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maka bertasbihlah dengan
memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima taubat. [an-Nashr/110: 3]
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ
Dan pada akhir malam
mereka memohon ampunan (kepada Allâh). [adz-Dzâriyât/51:18]
Maksudnya, bangun di
akhir malam untuk shalat tahajjud dan di waktu sahur mereka memohon ampun
kepada Allâh Azza wa Jalla .
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا
رَحِيمًا
Dan barangsiapa
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian dia mohon ampun kepada
Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[an-Nisâ’/4:110]
وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ
Dan sekali-kali Allâh
tidaklah akan mengadzab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada diantara mereka,
dan tidaklah pula Allâh akan mengadzab mereka sedang mereka meminta ampun.”
[al-Anfâl/8:33]
Dalam hadits Qudsi,
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
… يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ
تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا
، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْلَكُمْ…
…Wahai hamba-hamba-Ku!
Sesungguhnya kalian selalu berbuat kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang
hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku
niscaya Aku mengampuni kalian…[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membaca doa Istighfâr ketika ruku’ atau sujud sebagai berikut :
سُبْحَانَكَ اللهم
رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهم اغْفِرْلِيْ.
Maha suci Engkau, ya
Allâh! Rabb kami dan dengan memuji-Mu ya Allâh ampunilah dosaku. [2]
Para Ulama menyebutkan
bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal,
yaitu adanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka dan Istighfâr.
Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, berarti yang masih
tinggal satu yaitu istighfâr. Oleh karena itu istighfâr menjadi pengaman dari
kemarahan Allâh Azza wa Jalla .
وَالَّذِينَ إِذَا
فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ
مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan juga orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka
ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain dari Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imrân/3:135]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma berkata :
لَا كَبِيْرَةَ مَعَ
اسْتِغْفَارٍ وَلَا صَغِيْرَةَ مَعَ إِسْرَارٍ
Tidak ada dosa besar
jika diiringi dengan istighfâr dan tidak ada dosa kecil jika dikerjakan terus
menerus.[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
واللهِ إِنِّي
لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وأَتُوبُ إِلَيْهِ في الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سبْعِينَ
مَرَّةً
Demi Allâh, sesungguhya
aku benar-benar memohon ampun kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya dalam
sehari semalam lebih dari 70 kali.[4]
Dalam riwayat Imam
Muslim :
…وَإِنِّيْ لأَسْتغْفِرُ
اللهَ فِيْ الْيوْمِ مِئَةَ مرَّةٍ
…Dan sesungguhnya aku
benar-benar memohon ampunan Allâh dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.[5]
وعَنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : « ربِّ اغْفِرْ
لِيْ ، وتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ » .
Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma beliau berkata, “Kami dahulu menghitung dalam satu majlis
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 100 kali membaca, ‘Ya Allâh ampunilah
dosaku, dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan
Maha Penyayang.’” [6]
وعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: منْ قَالَ : « أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ
الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ »، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ
مِنَ الزَّحْفِ .
Dari Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barang siapa yang membaca :
أَسْتَغْفِرُ اللهَ
الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
(Aku mohon ampun kepada
Allâh yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, yang Maha
Hidup dan Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya) maka akan diampuni
dosa-dosanya walaupun pernah lari dari medan perang.[7]
Di antara do’a Istighfâr
yang paling baik adalah sayyidul Istighfâr, sebagimana yang telah diajarkan
oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Syaddad bin Aus
Radhiyallahu anhu .
SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan lafazh istigfâr ini dengan
Sayyidul Istighfâr karena terkandung dalam hadits ini makna taubat dan
merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla , yang tidak terdapat dalam
hadits-hadits taubat lainnya.
Imam ath-Thîbiy
rahimahullah berkata, “Karena do’a ini mengandung makna-makna taubat secara
menyeluruh maka dipakailah istilah sayyid, yang pada asalnya, sayyid itu
artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan
kembali kepadanya.”[8]
Ibnu Abi Jamrâh
rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan
dalam hadits ini makna-makna yang indah dan lafazh-lafazh yang bagus sehingga
pantas untuk dinamakan sayyidul Istighfâr. Dalam hadits ini terdapat :
• Pengakuan terhadap
uluhiyah Allâh dan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla • Pengakuan bahwa
Allâh Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya yang Maha Pencipta. Pengakuan bahwa
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan janji yang diambil untuk hamba-Nya.
• Harapan yang telah Allâh janjikan kepada hamba-Nya,
• Berlindung dari keburukan yang telah diperbuat hamba terhadap dirinya,
• Menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah
mengadakan semua nikmat ini, menisbatkan dosa kepada diri seorang hamba,
• Keinginan dan harapan dia agar diampuni dosa-dosanya oleh Allâh Subhanahu wa
Ta’ala
• Dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allâh.”
[9]
SAYYIDUL ISTIGHFAR
1. اللّٰـهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ (Ya Allâh Engkau adalah Rabb-ku) [10]
Pengakuan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Rabb adalah
pemilik, pencipta, pemberi rizki dan pengatur semua urusan makhluk-Nya.
Terkandung dalam hadits ini pengakuan tentang rububiyyah Allâh Azza wa Jalla .
2. لَا إِلٰـهَ إِلَّا
أَنْتَ (Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau)
Yaitu tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau ya
Allâh. Kalimat ini merupakan perwujudan tauhid uluhiyyah. Semua Muslim wajib
meyakini bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar hanyalah Allâh,
sedangkan selain Allâh tidak boleh disembah dan kita hanya berdo’a kepada Allâh
saja.
3. خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا
عَبْدُكَ (Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu)
Pengakuan hamba bahwa tidak ada yang menciptakan alam semesta beserta isinya
ini melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Seluruhnya adalah makhluk, baik
di langit maupun di bumi. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan semua
makhluk. Kalimat ini mengandung (prilaku hamba) yang menghinakan dan
merendahkan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Di dalamnya terkandung
tauhid rububiyyah. Doa ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga menunjukan bahwa beliau n adalah seorang hamba, yang tidak
berhak untuk diibadahi.
4. وَأَنَا عَلَى
عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu
sesuai dengan kemampuanku)
Aku tetap dalam perjanjian-Mu Ya Allâh, beriman kepada-Mu, melaksanakan ketaatan
kepada-Mu dan melaksanakan perintah-perintah-Mu semampuku. Menurut kemampuan
aku, karena Allâh tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan
kemampuannya. Yang dimaksud janji di sini adalah janji ketika Allâh
mengeluarkan calon-calon makhluk atau ruh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah) ketika
Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan
mereka dan Allâh Mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya Berfirman),
‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami
bersaksi.’ (Kami Lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’”
[al-A’râf/7:172]
Kalau mereka bersaksi
bahwa Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb mereka, maka konsekuensinya adalah
mereka harus beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Konsekuensinya adalah
melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan larangan Allâh Azza
wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
أَلَمْ أَعْهَدْ
إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٦٠﴾وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
Bukankah Aku telah
Memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan ?
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku.
Inilah jalan yang lurus.” [Yâsîn/36:60-61]
Kalimat
(وَوَعْدِكَ)“janji-Mu” yaitu tentang balasan pahala dan ganjaran, yaitu ‘Aku
tetap dalam perjanjianku dengan Allâh selama aku mampu. Aku yakin dengan
janji-Mu Ya Allâh.’ Bagi orang-orang yang bertauhid dan menjauhkan perbuatan
syirik, dijanjikan dengan Surga dan pahala yang besar.’
Oleh karena itu hadits
di atas menyebutkan barangsiapa membacanya dengan penuh keyakinan maka
dijanjikan dengan Surga.
5. أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ
مَاصَنَعْتُ (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku)
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amal perbuatanku dan akibat buruknya,
(Aku berlindung kepada-Mu agar tidak) ditimpa dengan petaka, agar diampuninya
dosa, dan kembali kepada perbuatan jelekku.
Aku berlindung kepada-Mu
dari kejelekan perbuatan dosa dan maksiat. Sesungguhnya perbuatan dosa membawa
akibat yang jelek. Orang yang durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim,
menzhalimi orang lain, mengambil hak orang lain, makan riba, dan dosa-dosa
lainnya akan membawa akibat yang jelek. Diantara akibat buruknya adalah
hilangnya barakah dalam ilmu kita dan hafalan kita. Akibat dosa yang paling
berbahaya adalah akan di adzab oleh Allâh Azza wa Jalla . Harta yang diperoleh
dengan cara zhalim maka harta itu tidak akan mendapatkan barakah, akan membuat
istrinya dan anak-anaknya durhaka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika khutbatul haajah bersabda :
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا…
Kami berlindung kepada
Allâh dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami…
Oleh karena itu,
hendaknya kita berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala
perbuatan dosa kita.
Akibat dosa tersebut
diantaranya hilangnya barakah umur kita, barakah ilmu kita, amal ketaatan, dan
hilangnya hafalan. Yang paling bahaya adalah tidak diampuni dosa kita. Atau
kita kembali kepada perbuatan dosa itu. Nas-alullâha al-‘afwa wal ‘âfiyah was
salâmah fid dunyâ wal akhirah.
6. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ
عَلَيَّ (Aku akui nikmat-Mu kepadaku)
Aku mengakui dan menetapkan besarnya nikmat-Mu kepadaku, dan agungnya
karunia-Mu dan kebaikan-Mu kepadaku. Setiap Muslim dan Muslimah wajib
menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semua nikmat yang
diberikan Allâh Azza wa Jalla , baik di langit, bumi dan diantara keduanya
adalah berasal dari Allâh Azza wa Jalla .
Firman Allâh Azza wa
Jalla :
وَمَا بِكُمْ مِنْ
نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Dan segala nikmat yang
ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan,
maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]
Nikmat Allâh Azza wa
Jalla yang diberikan kepada kita sangatlah banyak. Kita tidak akan pernah bisa
menghitungnya. Cobalah kita hitung nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan
sejak kita lahir ! Nikmat mata, telinga, lisan, rambut, hati, udara, oksigen,
air, tumbuhan, nikmat hidayah, kesehatan, dijauhkan dari malapetaka, nikmat di
atas tauhid dan sunnah, dan lainnya.
Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ
مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah memberikan
kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung
nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu
sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). [Ibrâhîm/14:34]
Apabila kita mengakui
nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla , maka konsekuensinya adalah bersyukur kepada
Allâh Azza wa Jalla . Bila seorang hamba bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla ,
maka Allâh akan menambah nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
وَإِذْ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) ketika
Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrâhîm/14:7]
Jika seseorang bersyukur
kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzabnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ
بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
Allâh tidak akan menyiksamu,
jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allâh Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.
[an-Nisâ’/4:147]
7. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ
(Aku mengakui dosaku kepada-Mu)
Aku mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan, berupa perbuatan
dosa, kesalahan, kelalaian, kewajiban yang aku tinggalkan, perbuatan haram dan
maksiat yang aku lakukan. Pengakuan ini sebagai langkah awal untuk bertaubat
dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla .
8. فَاغْفِرْلِيْ
(Ampunilah dosaku)
Ya Allâh, ampunilah seluruh dosa yang telah aku lakukan. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Seorang hamba yang bertakwa tatkala ia
berbuat dosa, ia segera memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana
firman-Nya :
وَالَّذِينَ إِذَا
فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ
مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka
(segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa
(lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]
9. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ (Karena yang tidak ada yang dapat mengampuni dosa
selain Engkau ya Allâh)
Pengakuan kita bahwa tidak ada yang dapat mengampuni semua dosa-dosa kecuali
hanya Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena kita memohon ampun hanya kepada Allâh
Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Maha Pengampun dan Penerima
taubat.
10. Barangsiapa yang
membacanya di pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia
sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang membacanya
di sore hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum esok
pagi hari, maka ia termasuk penghuni Surga
Yaitu membacanya dengan
penuh keyakinan, ikhlas, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , meninggalkan
syirik, membenarkan kandungan do’a sayyidul Istighfâr ini, mengakui tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah, mengakui semua dosa-dosanya, mengakui semua
nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan meminta ampunan hanya kepada Allâh Azza wa
Jalla .
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganjurkan kita untuk membacanya dengan penuh keyakinan ketika kita
di waktu pagi dan sore hari.
Syaikhul Islam
rahimahullah berkata, “Orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla yang ia tuju,
maka dia mempersaksikan bahwa semua itu karunia Allâh dan menyadari dirinya
yang banyak dosa dan aib.”[11]
Beliau rahimahullah
menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan 2 hal, yaitu
persaksian semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan pengakuan dosa-dosa yang
telah dilakukan, bahwa kita banyak berbuat kesalahan. Lalu dilanjutkan dengan
amal. Menyaksikan semua nikmat, anugerah dan karunia Allâh Azza wa Jalla kepada
kita, konsekuensinya adalah wajibnya kita mencintai Allâh Azza wa Jalla . Ini
juga menuntut kita memuji Allâh, bersyukur kepada Allâh karena Allâh telah
memberi semua nikmat dan kebaikan. Kita pun harus menyadari diri kita yang
banyak berbuat dosa dan kesalahan, yang menuntut kita agar menghinakan diri
kepada Allâh Azza wa Jalla , merendahkan diri kita di hadapan Allâh Azza wa
Jalla serta menyatakan diri kita fakir, membutuhkan Allâh dan kita wajib
bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan dia tidak melihat
dirinya kecuali orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.[12]
FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Wajib menetapkan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh adalah
Pencipta, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi karunia, Yang Maha
Menahan, dan Yang Maha Melapangkan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha
mematikan, dan Yang Maha mengatur segala urusan.
2. Wajib menetapkan
‘ubudiyyah, uluhiyyah, dan wahdaniyyah bagi Allâh Azza wa Jalla . Bahwa hanya
Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dan berhak diibadhi dengan benar.
3. Dalam sayyidul
Istighfâr terdapat penetapan dan pengakuan seorang hamba bahwa dirinya adalah
hamba yang hina di hadapan Rabb-nya, Pencipta-nya, dan Pemberi Rezeki-nya.
4. Di dalamnya juga
terdapat penetapan seorang hamba bahwa dia berpegang kepada perjanjian yang
Allâh Subhanahu wa Ta’ala ambil atasnya.
5. Hendaklah seorang
hamba melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan
kemampuannya. Ini seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“…Maka bertakwalah kamu
kepada Allâh menurut kesanggupanmu…” [at-Taghâbun/64:16]
6. Pengakuan seorang
hamba atas dosa-dosanya dengan taubat.
7. Penetapan dan
pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya dengan kelemahan dan kekurangan, dengan
menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya.
8. Tidak ada yang dapat
mengampuni dosa-dosa selain Allâh Azza wa Jalla.
9. Hendaklah seorang
hamba berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejelekan apa-apa yang telah
dia perbuat.
10. Keutamaan Istighfâr
(meminta ampun kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan keutamaan sayyidul
Istighfâr.
11. Hendaklah seorang
hamba berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan perbuatan dan
niatnya, karena itu merupakan sebab mendapat hukuman dan adzab.
12. Dalam hadits ini
terdapat dalil bahwa segala tujuan itu hendaknya dicapai dengan cara-cara yang
benar, dan sebab-sebab yang mencapai kepada tujuan itu. Adapun menggunakan
khurafat, bid’ah, cara-cara yang syirik, maka itu tidak menambah (kedudukan)
seorang manusia di hadapan Rabb-nya kecuali (tetap seorang) hamba (yang hina).
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no.2577), Ahmad (V/160), dan selain keduanya dari
Shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri z .
[2]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 794, 817) dan Muslim (no. 484).
[3]. Shahih: HR. Ibnu Jarir Atsar at-Thabari dalam tafsirnya (no. 9207) dan
lainnya. Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ‘Sanadnya shahih mauquf dari Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu anhuma . (al-Kabâir, hlm. 47 karya Imam adz-Dzahabi)
[4]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6307), at-Tirmidzi (no. 3259), Ahmad (II/282,
341), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 438, 439), dan lainnya dari
Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari shahabat al-Agharr bin Yasar
al-Muzani Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Abu Dawud (no. 1516), at-Tirmidzi (no. 3434), dan Ibnu Majah (no.
3814). Hadits ini adalah lafazh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan
shahih gharib.”
[7]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517). Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no.
1358).
[8]. Fat-hul Bâri (XI/99).
[9]. Fat-hul Bâri (XI/100).
[10]. Syarah mufradat ini dinukil dari kitab Fat-hul Bâri (XI/98-100) karya
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr (III/18-20),
Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan kitab-kitab lainnya.
[11]. Dibawakan perkataan ini oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah t (murid
beliau) dalam kitab al-Wâbilis Shayyib, Lihat Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm.
16).
[12]. Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 17).