Kamis, 19 Juli 2012

I’tiqad/Firqah/Faham/Golongan Dalam Islam Koleksi Musholla Al-Abror Diarsip:Mariono


I’tiqad/Firqah/Faham/Golongan Dalam Islam

Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam lingkungan umat, dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara tajam dan sulit untuk didamaikan, apalagi disatukan.

Hal ini telah menjadi fakta sejarah yang tidak dapat dirubah lagi dan sudah menjadi pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku agama terutama buku-buku Ushuluddin.

Dalam buku-buku Ushuluddin itu terdapat beberapa nama firqah, antara lain; Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni), Mujassimah, Bahaiyah, Ahmadiyah, Wahabiyah, Ibnu Taimiyah dan lain-lain.

Hal ini tidak terlalu mengherankan karena Nabi Muhammad SAW semasa hidup telah mengabarkan hal ini.

Hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya firqah-firqah ini antara lain :

1. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Bahwasanya siapa yang hidup (lama) di antara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah itu dan gigitlah dengan gerahammu” (HR Abu Daud)

2. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Akan ada di lingkungan ummatku 30 orang pembohong yang mendakwakan bahwa dirinya adalah Nabi. Saya adalah Nabi penutup, tidak ada lagi Nabi sesudahku” (HR Tarmidzi)

3. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Akan keluar suatu kaum akhir zaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (maksudnya firman-firman Allah SWT yang dibawa oleh Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagai meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka” (HR Bukhari)

Jelas dalam hadits ini bahwa akan ada sekumpulan orang-orang muda yang sok aksi mengeluarkan fatwa-fatwa agama berdasarkan Al Quran dan hadits, tetapi keimanan mereka tipis sekali dan bahkan keimanan itu keluar dari dirinya secepat anak panah meninggalkan busurnya. Maksudnya adalah bahwa mereka banyak berbicara tentang Al-Quran dan hadits, tetapi mereka tidak melaksanakan tuntunan agama seperti shalat, puasa dll.

4. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Ada dua firqah dari ummatku yang pada hakekatnya mereka tidak bersangkut paut dengan Islam, yaitu kaum Murjiah dan kaum Qadariyah” (HR Tarmidzi)

Firqah Murjiah dan Qadariyah tak ada hubungannya dengan Islam, kata Nabi Muhammad SAW. Na’udzubillah!

5. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

Dari Hudzaifah Rda., beliau berkata, Bersabda Rasulullah SAW : “Bagi tiap-tiap ummat ada majusinya, dan majusi ummatku adalah orang yang mengingkari takdir. Kalau mereka mati jangan dihadiri pemakamannya dan kalau mereka sakit jangan dijenguk. Mereka adalah kelompok dajjal. Memang Tuhan berhak memasukkan mereka ke dalam kelompok dajjal” (HR Abu Daud)

6. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

Dari Abi Hurairah Rda., beliau berkata, Bersabda Rasulullah SAW : “Telah berfirqah-firqah orang Yahudi atas 71 firqah dan orang Nashara seperti itu pula dan akan berfirqah ummatku atas 73 firqah” (HR Tarmidzi)

7. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya, “siapakah yang satu itu, Ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Yang satu itu adalah orang yang berpegang (ber-i’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqad-ku) dan pegangan sahabat-sahabatku” (HR Tarmidzi)

8. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”. Bertanya para sahabat, “siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu, Ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah” (HR Thabrani)

Hadits yang mengandung arti dan maksud seperti ini juga terdapat dalam buku Al Milal wan Nihal karangan Syahrastani (wafat 1127M/548H)

9. Bersabda Nabi Muhammad SAW :

“Akan ada segolongan ummatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu” (HR Bukhari)

Melihat hadits-hadits yang sahih ini dapat diambil kesimpulan :

1. Nabi Muhammad SAW mengabarkan sesuatu yang akan terjadi dalam lingkungan ummat Islam secara mu’jizat, yaitu mengabarkan hal-hal yang akan terjadi. Kabar ini tentu Beliau terima dari Allah SWT.

2. Sesudah Nabi wafat akan ada perselisihan faham yang banyak, sampai 73 faham (i’tiqad/firqah).

3. Ada segolongan orang-orang muda pada akhir zaman yang sok aksi mengeluarkan dalil-dalil dari Al-Quran, tetapi keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya.

4. Ada dua golongan yang tidak bersangkut paut dengan Islam, yaitu faham Murjiah dan Qadariyah.

5. Ada 30 orang pembohong yang akan mendakwakan bahwa dirinya adalah Nabi, padahal tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Dan ada orang-orang Khawarij yang paling jahat.

6. Di antara 73 golongan itu ada satu yang benar yaitu golongan Ahlussunnah wal Jama’ah yang selalu berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dan Sunnah Khalifah Rasyidin.

7. Mereka ini akan selalu mempertahankan kebenaran i’tiqad-nya sampai hari kiamat.

Melihat kenyataan sekarang, dan dengan meneliti sejarah perkembangan Islam sejak abad pertama Hijriyah hingga sekarang, apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW telah terjadi dengan nyata.

Di dalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, yang terkenal dengan gelar Ba’Alawi, cetakan Mathba’ah Amin Abdul Majid Kairo (Mesir) tahun 1960M/1381H, halaman 398, bahwa 72 firqah yang sesat itu bertumpu pada 7 firqah yaitu :
  1. Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
  2. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
  3. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
  4. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
  5. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
  6. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
  7. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Jika ditambah dengan 1 aliran lagi yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah maka menjadi 73 firqah, seperti yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadits Imam Tarmidzi.

Sejarah Timbulnya Firqah Dalam Islam

I’tiqad Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada Beliau.

Para sahabat berkumpul di hadapan Beliau untuk mendengarkan wahyu Ilahi yang turun sewaktu-waktu, ada di antara mereka yang menuliskannya dan ada pula yang menghafalnya.



Allah SWT berfirman, kata Nabi, sebagai berikut :

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang” (QS Al-Baqarah:163)

Para sahabat Nabi karena mereka orang arab, sedang Al-Quran dalam bahasa arab pula, mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat Al-Quran itu sehingga mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa Tuhan itu Esa, sifatnya Pengasih dan Penyayang. Mereka tidak bertanya lagi.

Allah SWT berfirman :

“Katakanlah (hai Muhammad): Tuhan tunggal, Tuhan tempat meminta, Ia tidak mempunyai anak, Ia tidak dilahirkan oleh Ibu-Bapak dan tidak seorangpun/sesuatupun yang menyerupai-Nya” (QS Al-Ikhlash:1-4)

Para sahabat Nabi yang mendengar dan membaca surat ini lantas yakin, bahwa Tuhan namanya Allah SWT, Ia Tunggal (Esa) bukan dua atau tiga. Ia bukan bapak, Ia bukan anak seseorang/sesuatu dan tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya.

Allah SWT berfirman :

“Tiada suatu juga yang menyerupai-Nya, dan Ia Mendengar lagi Melihat” (QS As-Syura:11)

Nabi dan para sahabat mengerti betul tujuan ayat ini, bahwa tidak ada sesuatu juga yang menyerupai Tuhan dan Ia tidak menyerupai sesuatu, Ia bersifat Mendengar dan Melihat, semuanya didengar dan dilihat oleh Tuhan.

Ia tidak boleh diserupakan dengan seorang Raja yang duduk di atas singgasana. Ia tidak boleh diserupakan dengan malaikat, jin, tidak boleh diserupakan dengan seorang kepala negara, tidak boleh diserupakan dengan siapapun juga.

Allah SWT berfirman :

“Sekalian yang ada akan lenyap, yang kekal hanya Zat Tuhanmu, yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan” (QS Ar-Rahman:26-27)

Yakinlah sahabat-sahabat Nabi, bahwa semuanya akan lenyap dan yang kekal hanya Tuhan yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.

Walaupun dalam ayat ini dikatakan “wajha” yang dalam bahasa arab artinya “muka”, tetapi para sahabat tidak repot soal itu, karena mereka tahu bahwa yang dimaksudkan dengan “wajha” tersebut adalah “Zat-Nya” sesuai dengan sastra arab dimana biasa dipakai perkataan yang menunjukkan juzu’ tetapi yang dimaksud adalah kul-nya, yaitu keseluruhannya.

Allah SWT berfirman :

“Dan bahwasanya Allah SWT tidak berkehendak kepada sekalian alam ini” (QS Al-Ankabut:6)

Mengertilah Nabi dan sahabat-sahabat bahwa Tuhan berdiri sendiri, tidak membutuhkan pertolongan siapapun juga, karena Ia paling kuasa, paling kuat, paling gagah dan bisa membuat apa saja yang dikehendaki-Nya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapapun.

Singkatnya tentang Allah SWT dan sifat-sifat-Nya semuanya diterangkan dalam Al-Quran dalam berbagai surat dan yang ayat yang berlain-lainan.

Jika ada yang tidak difahami, para sahabat bertanya kepada Nabi yang langsung dijawab dan diterangkan Nabi arti yang hakiki dari ayat tersebut sehingga tidak ada perselisihan faham.

Karena itu tidak ada firqah-firqah pada masa hidup Nabi Muhammad SAW dan tidak ada perbedaan tafsir dari Al-Quran. Mereka bersatu.

Begitu juga tentang malaikat, Tuhan menerangkan dalam Al-Quran secukupnya hingga tidak ada keraguan.

Allah SWT berfirman :

“Dan mengajarkan Allah SWT kepada Adam sekalian nama-nama, kemudian ditanyakan kepada Malaikat apa nama-nama itu, kalau kamu benar” (QS Al-Baqarah:31)

Maka tahulah para sahabat bahwa ada satu makhluk selain manusia yang bernama malaikat.

Keadaan malaikat diterangkan sebagai berikut :

“Mereka tidak mendurhakai Tuhan kalau disuruh dan mereka mengerjakan sekalian suruhan Tuhan” (QS At-Tahrim:6)

Malaikat itu adalah makhluk yang patuh dan taat kepada Tuhan.



Allah SWT berfirman :

“Katakanlah (hai Muhammad): Barangsiapa memusuhi Jibril (maka ia memusuhi Tuhan) karena Jibril itu menurunkan Al-Quran pada hatimu dengan izin Tuhan, untuk membenarkan kitab-kitab Tuhan yang terdahulu” (QS Al-Baqarah:97)

Fahamlah para sahabat bahwa Al-Quran diturunkan kepada Nabi oleh Tuhan dengan perantaraan malaikat Jibril.

Demikian pula tentang Rasul-Rasul Allah SWT dari dulu hingga Nabi Muhammad SAW, tentang Kitab-Kitab Suci seperti Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran, begitu pula tentang akhirat, surga dan neraka, tentang Qadla dan Qadar Ilahi, seluruhnya diterangkan dalam Al-Quran dan hadits Nabi dalam berbagai kesempatan.

Seluruh sahabat memahami seluruhnya sefaham mungkin dan seyakin-yakinnya, tidak ada perselisihan faham.

Timbulnya Perselisihan Faham Setelah Nabi Muhammad SAW wafat

Yang teramat mulia Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 02 Rabi’ul Awwal 11H atau 08 Juni 632M.

Pada hari Beliau wafat sekelompok Kaum Anshar (sahabat Nabi yang berasal dari Madinah) berkumpul di satu tempat yang bernama Saqifah Bani Sa’idah untuk mencari Khalifah (pemimpin pengganti Nabi). Kaum Anshar ini dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah (Ketua Umum Anshar dari suku Khazraj).

Mendengar hal ini Kaum Muhajirin (sahabat Nabi yang berasal dari Makkah dan pindah ke Madinah) datang ke Saqifah dengan dipimpin oleh Saidina Abu Bakar as-Shiddiq Rda.
Setelah terjadi perdebatan yang cukup sengit dimana Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah sebagai calon Khalifah dan Kaum Muhajirin mengajukan Abu Bakar atau Umar bin Khattab sebagai calon Khalifah, akhirnya semua sepakat untuk mengangkat sahabat yang paling utama yaitu Saidina Abu Bakar as-Shiddiq sebagai Khalifah pengganti Nabi.

Dalam rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Saidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Faham Syi’ah belum ada ketika itu, yang ada hanya Kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi perselisihan tersebut tidak menimbulkan firqah dalam Ushuluddin karena perselisihan tersebut telah selesai dengan diangkatnya Saidina Abu Bakar sebagai Khalifah secara aklamasi.

Pada tahun 30H timbul Faham Syi’ah yang disulut oleh Abdullah bin Saba’ yang beroposisi terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak terlalu mendapat penghargaan dari Khalifah dan dari umat Islam lainnya sehingga ia menjadi jengkel.

Setelah terjadi Perang Siffin, perang saudara sesama Islam antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Gubernur Syria) pada tahun 37H timbul pula Faham Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Saidina Ali dan Mu’awiyah.

Pada awal abad kedua Hijriah timbul pula Faham Mu’tazilah yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’ (80-113H) dan Umar bin Ubeid (wafat 145H).

Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, berlainan dengan i’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat beliau.

Di antara fatwa yang ganjil tersebut adalah adanya “manzilah bainal manzilatein” yaitu ada tempat di antara dua tempat neraka dan surga, bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-Quran adalah makhluk, mi’raj Nabi hanya dengan roh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits Nabi, bahwa surga dan neraka akan lenyap dsb.

Kemudian timbul Faham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak bersangkut paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak peduli lagi akan apa yang diperbuat oleh manusia.

Kemudian timbul pula Faham Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tidak memiliki daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiar.

Selanjutnya timbul Faham Mujassimah, yaitu faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan dan kaki, duduk di atas kursi, turun tangga seperti manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu dan sebagainya.

Dan timbul pula faham-faham yang keliru tentang tawassul dan washilah, tentang ziarah dan istighatsah dari Ibnu Taimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum muslimin. 


Munculnya I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah

Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi.

Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.

Nama lengkap Abu Hasan adalah Abu Hasan ‘Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin Salim, bin Ismail, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi Musa al-Asy’ari. Abi Musa al-Asy’ari adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal.

Abu Hasan lahir di Basrah (Iraq) pada tahun 260H yaitu 55 tahun setelah wafatnya Imam Syafi’i Rda., dan wafat di Basrah pada tahun 324H.

Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya, seorang ulama besar kaum Mu’tazilah yaitu Sheikh Abu ‘Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jabai yang wafat pada tahun 303H, namun kemudian beliau tobat dan keluar dari golongan Mu’tazilah tersebut (jangan keliru, Sheikh Abu ‘Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jabai ini bukanlah Muhammad bin Abdul Wahab, pembangun Faham Wahabi di Nejdi tahun 1115H-1206H).

Pada masa itu (abad ketiga Hijriyah) banyak sekali ulama-ulama Mu’tazilah yang mengajar di kota-kota Iraq termasuk Basrah, Bagdad dan Kufah. Pada masa itu memang merupakan masa gemilang bagi Faham Mu’tazilah karena didukung oleh pemerintahan yang berkuasa, dimana sekurang-kurangnya ada tiga kepala pemerintahan (Khalifah) yang memberi dukungan yaitu Ma’mun bin Harun ar-Rasyid (198-218H), al-Mu’tashim (218-227H) dan al-Watsiq (227-232H).

Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah “Al-Quran adalah makhluk” yang sampai mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan Mu’tazilah.

Abu Hasan muda melihat bahwa dalam faham Mu’tazilah ini banyak terdapat kesalahan besar yang bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabat, serta banyak yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.

Karena itu beliau keluar dari golongan Mu’tazilah dan tobat kepada Tuhan atas kesalahan-kesalahannya yang lalu. Bukan itu saja, beliau tampil di muka untuk melawan dan mengalahkan Faham Mu’tazilah yang sesat itu.

Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di Masjid Basrah yang besar dan mengucapkan pidato dengan suara lantang dan berapi-api di hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul.

Isi pidatonya adalah sebagai berikut :

“Saudara-saudara kaum muslimin yang terhormat!

Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah, tetapi bagi yang belum mengetahui maka saya adalah Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari, anak dari Ismail bin Abi Basyar.

Dulu saya berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk, bahwa Tuhan Allah SWT tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwa manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya sendiri, serupa dengan Faham Mu’tazilah.

Nah, sekarang saya menyatakan dengan terus terang bahwa saya telah tobat dari Faham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’tiqad itu seperti saya melemparkan baju saya ini (sambil melemparkan bajunya) dan setiap saat saya siap untuk menolak Faham Mu’tazilah yang salah dan sesat itu”.


(Zhumrul Islam IV hal.67)

Sejak saat itu Abu Hasan berjuang melawan Faham Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan ulama-ulama Mu’tazilah di mana-mana, serta merumuskan dan menuliskan dalam buku-bukunya i’tiqad Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga beliau terkenal sebagai seorang Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan Faham Mu’tazilah.

Beliau mengarang buku Ushuluddin banyak sekali, di antaranya adalah Ibanah fi Ushuluddiyanah, Maqalaatul Islamiyiin, Al Mujaz dan lainnya (Imam Zabidi, pengarang buku Ittihaf Sadatil Muttaqin syarah Ihya Ulumuddin, berkata bahwa Imam Asy’ari mengarang sekitar 200 buku).

Keistimewaan beliau dalam menegakkan fahamnya dan dalam mengarang adalah dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Quran dan hadits serta mempertimbangkan akal pikiran, berbeda dengan Faham Mu’tazilah yang mendasarkan pemikirannya atas akal dan falsafah Yunani dalam hal Ushuluddin, serta berbeda pula dengan Faham Mujassimah yang mendasarkan fahamnya atas arti lahir Al-Quran dan hadits sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, memiliki wajah/muka, duduk di atas ‘Arsy dan lain sebagainya yang keliru.

Alhamdulillah, Imam Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari dapat menegakkan faham yang kemudian disebut sebagai Faham Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu faham yang diyakini dan di-i’tiqadkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau.

Adapun Imam Abu Mansur al-Maturidi yang dianggap juga sebagai pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud.

Beliau lahir di sebuah desa di daerah Samarqand (Asia Tengah) yang bernama “Maturid” dan wafat di sana pula pada tahun 333H (10 tahun setelah Imam Asy’ari wafat).

Beliau berjasa besar dalam mengumpulkan, merinci dan mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Imam Asy’ari.

Hingga sekarang makam beliau ramai diziarahi kaum muslimin.

Dunia Islam sejak saat itu menganggap bahwa kedua Imam ini adalah pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pada tahun-tahun dan abad berikutnya banyak bermunculan ulama-ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyebarluaskan faham-faham Asy’ari dan Maturidi, antara lain adalah :
  • Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat th 365H)
  • Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat th 411H)
  • Imam al-Hafizh al-Baihaqi (wafat th 458H)
  • Imamul Haramain al-Juwaini (wafat th 460H)
  • Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat th 465H)
  • Imam al-Baqilani (wafat th 403H)
  • Imam al-Ghazali (wafat th 505H)
  • Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat th 606H)
  • Imam Izzuddin bin Abdussalam (wafat th 660H)
  • Sheikhul Islam Sheikh Abdullah as-Syarqawi (wafat th 1227H) pengarang buku tauhid terkenal yaitu “Syarqawi”.
  • Sheikh Ibrahim al-Bajuri (wafat th 1272H) pengarang buku tauhid “Tahqiqul Maqam fi Kifayatil A’wam” dan buku “Tuhfatul Murid ‘ala Jauharatut Tauhid”.
  • Al-Allamah Sheikh Muhammad Nawawi Bantan (wafat th 1315H) seorang ulama Indonesia yang mengarang buku tauhid “Tijanud Darari”.
  • Sheikh Zanal Abidin bin Muhammad al-Fathani yang mengarang buku tauhid “Aqidatun Najiin fi Ushuluddin”.
  • Sheikh Husein bin Muhammad al-Jasar at-Thalabilisi, pengarang buku tauhid terkenal “Hushunul Hamidiyah”.
Satu hal yang patut diketahui juga adalah pada umumnya dunia Islam menganggap bahwa dalam furu’ syari’at (fiqih) yang benar adalah fatwa Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, dan dalam Ushuluddin yang sesuai dan yang benar sesuai dengan Al-Quran dan hadits adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah?

Arti Ahlussunnah adalah Penganut Sunnah Nabi. Arti wal Jama’ah adalah Penganut i’tiqad sebagai i’tiqad Jama’ah Sahabat-Sahabat Nabi.

Faham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Faham yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat Beliau.

I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.

Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah.

Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.

Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.

Abu Mansur al-Maturidi adalah seorang ulama Ushuluddin juga yang faham dan i’tiqadnya sama dengan Asy’ari.

Sudah menjadi adat istiadat dalam dunia Islam, bahwa hukum-hukum agama yang digali dari Al-Quran dan hadits oleh seorang Imam maka hukum itu dinamai “Madzhab”.

Hasil ijtihad Imam Hanafi dinamai Madzhab Hanafi, hasil ijtihad Imam Maliki disebut Madzhab Maliki, ijtihad Imam Syafi’i dinamai Madzhab Syafi’i dan hasil madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dinamai Madzhab Hanbali, walaupun pada hakekatnya semuanya adalah agama Allah SWT yang termaktub secara tersurat dan tersirat dalam Al-Quran dan hadits.

Begitu pula dalam i’tiqad, hasil galian dari Al-Quran dan hadits oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari dinamai Madzhab Asy’ari atau Faham Asy’ari, walaupun pada hakekatnya Imam Asy’ari hanya menggali, merumuskan, memfatwakan, menyiarkan dan mempertahankan apa yang sudah ada dalam Al-Quran dan hadits, serta apa yang sudah di-i’tiqadkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat Beliau.

Buku-Buku Referensi di Lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah

(selain Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW)
  1. Kitabul Arba’in fi Ushuliddin - Imam al-Ghazali
  2. Asma’ was Shifaat - Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thaher al-Bagdadi
  3. Kitabus Sunnah - Imam Abdul Qasim Hibbatullah bin Hasan at-Thabarai Allakai
  4. Tadzkiratul Qusyairiyah - Imam Abu Nashar Abdurrahim bin Abdul Karim al-Qusyairi
  5. Al-Madkhalul Ausath Ila Ilmil Kalam - Imam Abu Bakar Muhammad bin Hasan bin Faurak
  6. Al-Iqdus Shafi - Imam Abdul Qasim Abdurrahman bin Abdusshamad al-Iskafi an-Nisaburi
  7. Umdtul ‘Aqaid wal Fawaid - Imam Yusuf bin Dzu Nas Al-Fondlai al-Maliki
  8. I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah - Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini
  9. I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah - Imam Abdul Qasim Abdul Karim dan Hazin al-Quraisyi
  10. Lam’ul Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahlussunnah - Imamul Haramain
  11. Syarhil Kubra - Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
  12. Hidayatul Murid Syarah Jauhartut Tauhid - Burhan al-Laqani
  13. Hasyiah Ummil Barahin - Syihab Ahmad bin Muhammad Alganimi
  14. Al-’Aqidah - Imam Abi Ishak as-Sirazi
  15. Al-’Aqidah - ‘Izzuddin bin Abdussalam
  16. Asrarut Tanzil - Fakhrur Razi
  17. Tabyiin Kizbul Muftari - Ibnu ‘Asakir
  18. Ta’wilul Musytabihaat - Syamsuddin Ibnul Luban
  19. Syarah ‘Aqidah Ibnul Hajib - As-Subki
  20. Syarah Tijanuddari - Syeikh Ibrahim al Bajuri
  21. ‘Aqidatun Najiin fi Ilmi Ushuliddin - Sheikh Zainal ‘Abidin al-Fathari
  22. Tuhfatul Murid Syarah Jauhartut Tauhid - Syeikh Ibrahim al-Bajuri
  23. Sakaki Syarah Huda-Huda - Imam Syarqawi
  24. Al-’Itiqad - Imam Baihaqi
  25. Kifayatul ‘Awam - Sheikh Mohammad al-Fadhali
  26. Al Bajuri (Pensyarah Kitab Sanusi) - Ibrahim al-Bajuri
  27. Ummul Baraahim - Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
  28. Jauhartut Tauhid - Burhanuddin Ibrahim bin Harun al-Aqani
  29. Badul Amali - Sirajuddin Ali bin Utsman al-Usyi
  30. Al-Aqaidun Nasafiyah - Sheikh Namar bin Muhammad an-Nasafi
  31. Risalah fi Ilmittauhid - Imam Ibrahim al-Bajuri
  32. Hushunul Hamidiyah - Hasan Muhammad at-Tharabilisi
  33. Bahrul Kalam - Abu Mu’in an-Nasafi
  34. Syarqawi Syarah Sanusi - Sheikhul Islam as-Syarqawi
  35. dan lain-lain
Sumber : I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, KH Siradjuddin ‘Abbas, Penerbit Pustaka Tarbiyah Jakarta 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar