Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim
dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli
hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab
Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah”
(Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin
‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi,
salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur
lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi
berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota
inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah
gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara
ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya
itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk
mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau
ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa
menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan
diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang
untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada
akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia
hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi
meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H
dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith
dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia
mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud.
Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin
Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman,
Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna
dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya
dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul
ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad
an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi,
Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’
daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh
para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal
pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah
satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan
oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah
bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi
berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya
telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia,
mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang
ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip
dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk
mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan
hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan
melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan
sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu
kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia
bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun
membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau
hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi
agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata:
‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti
engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith
Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan
menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim
Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok
“Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan
berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama
yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah
(berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya
‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang
penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia
memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya
diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang
yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang
berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan
darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadith yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal
sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan
perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan
pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan
ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama
yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang
sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith
mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah
mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi
menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad,
dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar
hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman.
Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang
mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan
sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata:
“Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar
dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil)
itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan
menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain
berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan
muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama
(muhil).”
Mereka memakai ala an dengan
perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak
ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang
dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata
orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang
Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang
menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi
dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis
kitab-kitab. Di antaranya:
· Kitab Al-Jami’, terkenal dengan
sebutan Sunan at-Tirmidzi.
· Kitab Al-‘Ilal.
· Kitab At-Tarikh.
· Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
· Kitab Az-Zuhd.
· Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang
paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab
karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah
satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith
terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada
penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama
pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan
menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan
Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini,
Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan
menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini,
aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan
mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu
berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya
tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan
hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak
meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau
dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau
syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki
nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih.
Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap
hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah
berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.”
Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan),
kecuali dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW
menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab
“takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi
pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma
ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di
atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya.
Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak
di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn
Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn
Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang
terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal
(anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti
kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith
semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith
tentang halal dan haram.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang
Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Imam Nasa’i
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh
ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan
us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam
pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith
syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu
‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani
al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah
seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama
yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama
Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di
Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan
tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal
Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama
yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan
hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz,
Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar
hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith
yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan
periwayatan hadith.
Nasa’i merasa cocok tinggal di
Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan
seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian
ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu
peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai
pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka
minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah,
sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada
penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan
darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk
mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu
memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya
yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui
kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat
tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat
mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah.
Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di
suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh
Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat
dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di
Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan
pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah.
Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas
ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya
kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia
adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang
hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur
bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan
keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah
dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan
demikian ia dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal
ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para
ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan
untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu,
Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith,
mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi
ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata
mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli
dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan
perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan
dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia
mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa’i telah menusil beberapa
kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
· As-Sunan ul-Kuba.
· As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan
nama Al-Mujtaba.
· Al-Khasa’is.
· Fada’ilus-Sahabah.
· Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang
paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa’i
Nasa’i menerima hadith dari sejumlah
guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa’i Sa’id. Ia
mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di
bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin,
‘Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis
al-Jami’.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh
para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani,
penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir
as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin
Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun
kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah.
Amir itu bertanya: “Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?” “Ada yang shahih,
ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,” jawabnya.
“Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja.”
Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha menyeleksinya, memilih yang
shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan
As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana
kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam
menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: “Kedudukan kitab
Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana
sedikit sekali hadith dha’if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh kerana itu, kita dapatkan
bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi
dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak
sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan
pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik
itu. Dalam Sunan Nasa’i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha’if, hanya
saja hadith yang dha’if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian
ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu
anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau
maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith
shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang
dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam
pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra,
metode yang ditempuh Nasa’i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan
sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk
ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang
dinisbahkan kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadith riwayat Nasa’i”, maka
yang dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan
ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu
sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud Syarhu Sunan Abi
Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam
Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini
diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam
As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh
negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini
merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit
ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan
al-Mizzi, “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita
tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat
dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu
ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah salah satu kitab hadith pokok
yang menjadi pegangan.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang
Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar