Kamis, 14 Juli 2016

PERAWI HADIST IMAM TIRMIDZI 279 H




Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
· Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
· Kitab Al-‘Ilal.
· Kitab At-Tarikh.
· Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
· Kitab Az-Zuhd.
· Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Imam Nasa’i
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa’i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
· As-Sunan ul-Kuba.
· As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
· Al-Khasa’is.
· Fada’ilus-Sahabah.
· Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa’i
Nasa’i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa’i Sa’id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami’.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: “Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?” “Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,” jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja.” Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: “Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha’if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa’i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha’if, hanya saja hadith yang dha’if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa’i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadith riwayat Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar